MOSALAPARWA
Mosaparwa merupakan cerita parwa yang pendek sekali. Parwa
ini menceritakan bagaimana suku Yadu musnah sesudah pertemburan Agung itu. Hal
ini dimulai ketika suatu hari mereka dikunjungi oleh tiga orang yang bijak yang
kemudian mereka ini dijadikan sasaran yang empuk bagi sendagurau mereka. Samba,
putra Kresna diberi pakaian seorang putrid kemudian mohon kepada rsi agar si
Samba ini dapat mengandung seorang anak atau hamil. Akan tetapi para resi ini
marah tidak mengijinkan karena melecehkan atau suatu penghinaan akan derajat
mereka. Samba dikuthuk, akan melahirkan sebatang tongkat besi yang akan
memusnahkan seluruh Suku Yadu, kecuali Krsna dan Baladewa. Keesokan harinya tongkat itu lahir dari tubuh
si Samba itu. Mereka menghancurkan tongkat besi itu sampai menjadi debu,
kemudian debu tongkat itu ditaburkan di laut, tetapi dari debu tersebut
tumbuhlah di pantai semacam padang buluh.
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari
seri kitab Mahabharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni,
Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang
Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan
saudaranya, Raja Baladewa.
Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri
Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi
Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi
Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan
meninggalkan dunia fana.
Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia
telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Ia telah melihat
tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu
yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa
bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda
Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang
minum minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke
Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan
para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana
wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang
mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, “Orang ini adalah
permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para
resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui,
apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?”. Para resi yang
tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, “Orang ini adalah Sang
Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun
perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!” (mosala
= gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan
gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu
kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata
tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah
senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang
Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa
serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah
tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang.
Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan
tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu
yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang
dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
Perkelahian antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di
Prabhasatirtha.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan,
datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran
Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju
Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai,
para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk
mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata,
“Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau
telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam
keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?”. Ucapan tersebut disambut
oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat
Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, “Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang
tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga”.
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai.
Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna.
Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini
menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria
perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu
sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka
yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut
berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para
keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan
atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang
berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna
menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan
menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi
senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya
tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang
sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua
di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa
kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa
ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur,
namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah
menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya
sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru
disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh
untuk memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di
Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar
naga dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga
lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna mengenang segala
peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring di bawah pohon,
seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan anak
panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah
dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara
meminta ma’af kepada Kresna. Kresna tersenyum dan berkata, “Apapun yang akan
terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan hidupku”. Sebelum Kresna wafat,
teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk
memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah
hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya Kerajaan Dwaraka
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu
para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa
karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup bersama
sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit
demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh
Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut
telah sepi. Ia juga berjumpa dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para
suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian
Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan
kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang
diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk
mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota
Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang
oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika
berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang
bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan
wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna
menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta
Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan
duniawi.
Wresni atau Wrishni (Sanskerta: वृषणि ;Vṛṣṇi) adalah seorang bangsawan Wangsa Yadawa.
Wresni lahir sebagai putra sulung Maharaja Madhu dari generasi ke-19 keturunan
Yadu (leluhur Yadawa). Para keturunan Wresni disebut Warsneya. Kresna masuk ke
dalam percabangan Candrawangsa keturunan Wresni dan dari sanalah ia mendapat
nama Warshneya.[1] Rakyat Dwaraka dikenal sebagai Wangsa Wresni.
Migrasi Wangsa Wresni ke Dwaraka
Jarasanda, ayah mertua Kamsa, menyerang Mathura dengan
pasukan besar; dan walaupun Kresna menghancurkan pasukan raksasa tersebut,
asura yang lain, Kalayawan namanya, juga mengepung Mathura dengan pasukan lain
yang berjumlah tiga juta setan ganas. Kemudian Kresna berpikir bahwa lebih baik
mereka mengungsi ke Dwaraka
Hancurnya Wangsa Wresni
Setelah gugurnya Duryodana dalam Mahabharata, Kresna
menerima kutukan dari ibu Duryodana (Gandari). Ia sedih meratapi kematian
putera-puteranya, kawannya, dan musuhnya; lalu ia sadar bahwa Hari (Kresna)
adalah biang keladi semuanya, yang bersembunyi di belakang layar. Kemudian ia
mengutuk Kresna agar malapetaka terjadi. Kutukannya adalah: bahwa 36 tahun
kemudian Kresna sendiri akan mendapat celaka dan rakyatnya, yaitu Wangsa
Wresni, akan hancur. Hal ini akhirnya menjadi kenyataan. Kegilaan menyelimuti
rakyat Dwaraka sehingga mereka saling menyerang satu sama lain dan terbunuh,
bersama dengan seluruh anak dan cucu Kresna. Hanya para wanita, Kresna,
Balarama, dan beberapa ksatria yang masih hidup. Kemudian Balarama pergi ke
hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan
wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; sesudah itu ia sendiri
pergi ke hutan, dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di
bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia
melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala
seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan. Lautan, sungai suci, dan
naga para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya. Maka Kresna melihat
bahwa kakaknya telah meninggalkan alam manusia, dan sekarang ia mengembara
sendirian di hutan. Ia memikirkan kutukan Gandari dan merasa segalanya telah
terjadi, dan ia tahu bahwa sudah saatnya ia meninggal. Lalu ia menahan panca
indria untuk melakukan yoga dan berbaring di bawah. Kemudian datanglah seorang
pemburu dan mengira bahwa Kresna seekor rusa, sehingga ia menembakkan panah dan
menembus kaki Kresna. Namun ketika si pemburu mendekat, ia melihat seseorang
mengenakan jubah kuning sedang melakukan yoga. Ia merasa dirinya bersalah,
kemudian menyentuh kaki Kresna. Kemudian Kresna bangkit dan memberi kebahagiaan
kepada si pemburu, kemudian Kresna naik ke surga.
VERSI YANG KEDUA (DARI WIKIPEDIA)
. .
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah
memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda
alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang
mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa
kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni,
Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum
minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke
Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan
para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana
wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang
mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini
adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah
para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian
mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?".
Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang
ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi
laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan
kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan
gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu
kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata
tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah
senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang
Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa
serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah
tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang.
Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan
tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang Jara seorang
pemburu. Pemburu yang bernama Jara membeli ikan itu menemukan potongan besi
kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa
menjadi anak panah.
Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
Perkelahian antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di
Prabhasatirtha.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan,
datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran
Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju
Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai,
para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk
mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata,
"Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau
telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam
keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut
disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung
pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh
Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk
memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai.
Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna.
Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini
menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua
kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang
berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk
tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun
tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata
tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama.
Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak
seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya
sendiri, Kresna menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran
mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eruka dan
mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan
kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para
Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan
mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua
di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa
kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa
ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur,
namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah
menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya
sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru
disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh
untuk memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di
Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia dalam tapanya.
Kemudian keluar naga dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung
dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna
mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring di
bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya
dengan anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala di dalam
ikan yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor
rusa, Jara meminta ma'af kepada Kresna. Kresna tersenyum dan berkata,
"Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan
hidupku". Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus
untuk pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa
Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai
ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya Kerajaan Dwaraka
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu
para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa
karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup bersama
sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit
demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh
Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut
telah sepi. Ia juga berjumpa dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para
suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian
Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan
kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang
diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk
mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota
Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna
dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap
ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan
sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak
harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna
menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta
Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan
duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar